Senin, 15 Oktober 2012

[Karya] Balap Puisi Bersama Siswa


Untuk Laras
Sebab kata telah menoreh cita-cita
Semoga selalu menjadi permata: Wedyata Larasartika



Kudatangi kau di waktu ambang
"Apa kau lupa hendak mendatangiku
membawa setangkai senyuman sebagai mahar?"
Dalam ranum waktu
Kita telah sepakat tak cepat-cepat
Mengemasi pecahan-pecahan senja
Atau gelisik risau angin yang mengantarkan kita pada beribu ingin

Sesobek langit lebaran
bunga-bunga cahaya melamar legamnya
Lagi hujan tertahan
Biar esok derai
sebagai ngarai sedu sedan
 
Merangkak di puisi ketiga
       : untuk Laras

Merangkak di puisiku sendiri
Setengah aku paksa kata-kata
Biar ia lepas dan lekas menjadi sihir pujangga
Laras, mari kita memburu purna waktu
Menggenapkan kata-kata
Sebab kata-kata tak selamanya purna menjadi doa
Terkadang ia membawa celaka sebagai duka

Temuilah  aku
Seperti engkau menemui sepenggal usia
Dalam lamur matamu
Aku rindu nasihat ibu
tentang segala perih pertapaaan dan pengasingan
Mata itukah yang kelak melamarku
Dalam isak desau angin parau
engkau tulis mahar dalam seikat bunga sebagai doa
Maka doa sebagai isyarat
Bahwa cinta telah tambat

Mata malam menggeliat
Membelah tebalnya pekat
Masih kita ingat bagaimana takbir meminang bibir
Kuingat engkau di sela rimbunan doa malam-malam qadar
Terduduk khusyu
Sekadar menunggu ditawari segelas khasiat malam-malam
Dalam rakaat taat
esok kita gelar sejadah
Dudukkan alakadar  segala penawar
Hati kita yang sempat hambar

Sepucuk doa macam apakah
Yang akan engkau hidang
dalam liuk bimbang dan hati kita yang kekang?

Engkau mata kayu
Apa yang akan membuat engkau tepi
jika aku menjadi api?


engkau mata air
Apa yang akan membuat engkau jadi hilir
Jika aku jadi tebing di tengah ngalir?


Puisi

dalam malu aku meminangmu

Agar kata tak jadi kelu

Aku tergeragap dalam jeda yang terbata

“Ubah aku menjadi sepotong doa

Agar kata menjadi cahaya”

Senja telah menjadi waktu kita bersama
Kita duduk di sini, Dik.
Sekadar mengamini doa-doa yang tetap terjaga
Mari menambal tawa yang telah burai
Atau merentang wajah yang telah lama masai

Satu Syawal
kita perah segala amarah
Biar tumpah tak jadi serapah
Di tangan yang jabat
Asal kita tak mengulang siasat
Segala dendam ngalir jadi rindu
Dalam doa yang rimbun
Dalam senyum yang lepas dari kulum

Syawal telah menjelma menjadi deretan jarum waktu
detik ke detik
Menit
Jam
Dan kita telah termakan
Jeram usia
Tenggelam
dalam kenang masa silam

Sebab engkau menjadi alas
Bukan berarti engkau harus memelas
Sebab tetanah adalah teman
tempat berbagi kisah dan kesah
Kembang bermekaran
Kekumbang beterbangan meliukan tarian rayuan
Berkariblah dengan hujan
Tanyalah ia tentang racau sedu sedan
Tentang ngalirnya yang menurun
Kadang rerintik kadang risik yang menderas

Jika kelak kata-kataku tersumbat
Engkau menjadi cerminku
Mari kita berhadapan
Engkau baca apa yang ada dalam rasa
yang tak aku kata

Malam selalu memberikan kesempatan
Agar engkau menjadi ksatria dalam pertarungan
Tapi, sejenak duduklah
Sebab ksatria tak selalu memenangkan pertarungan
dengan kencangnya kuda pacuan
Mari duduk, menulislah sejenak
Hingga hatimu kian tanak

Sandarlah sejenak
Pada bahuku meski tak lagi tegak
Ceritakan tentang dongeng senja kala ini
Tentang sepasang kuda sembrani
Atau angsa hitam yang melintas di tengah telaga
Tentang bulat bulan yang jatuh di tengah kolam
Atau tentang engkau yang mencuri seikat bakung
Dari tanah yang tak lagi ramah
Aku ingin mendengarmu
Seperti nenek tua pendongeng yang cengeng
Seperti anteh dan kucingnya yang kesepian di sudut bulan
Sandarlah sejenak
Lepas lirih yang tercekat

Hujan tak pernah mengekalkan tarian
Ia seringkali meluncur dalam ngalir yang ngawur
Kala kanak
Kita berlari ketika ibu melempar tuah gelisah
Kita berpayung
Tapi diam-diam kita mencuri ricik
Dan menadahkan wajah
Agar dikecup desah basah

Masih kita jawab pertarungan ini
Dengan memaksa kata
Agar bersedia tumpah menjadi potongan kisah
Kita lepas suara
Kabarkan risau pada batuan
Memahatnya jadi relief-relief ingatan
      : Mungkin nisan

Kata-kata terpasung dari luapan
Musim mengirimnya pada desah kemarau yang parau
Pada gugur daunan yang dihempas sepi
Sepasang gagak hitam meracau
Meramal kematian kata
Duhai desau yang membadai risau
Mungkin ini rutuk dari kata-kata yang tak lazim bentuk

Kepada desah yang memakmurkan cuaca
Jangan jadi melemah
Pada musim yang seringkali salah tingkah
Bernyanyilah seperti biasa
Membariskan kawanan beburung
Dan arakan awan
Di rentang cakrawala
Panggilah segerombolan hujan
Sekadar menyapa rimbunan hutan
Dan galau lautan

Batuan tak pernah kenal rasa
Sebab itu ia berkawan dengan ketangguhan
Atas nama si penakut
Batu adalah hantam yang akan menindasmu
Membuat kulit tubuhmu dadas

Pada malam yang detaknya sekarat
Tak terdengar lagi riuh gaduh
daging-daging tubuh yang aduh
Selepas kenang di bawah guguran hujan
Dan lengang jalanan kota
Kita sama-sama terperangkap dalam rumahrumah bisu
Tanah yang menjadi asing dari suara
Atau sekadar denyut jam
Guguran hujan itukah
Yang telah membungkam tumpah cerita kita?
Hingga kita lupa bagaimana caranya bicara

Sepenggal nama kuamini dalam doa
Mungkin namamu
Atau nama seorang yang tak kuduga berpapasan rupa
Tanpa sengaja

Mendengar bisikmu menyekap daun telinga
Gerangan apa yang hendak kau sampaikan
Pada kelu malam?
Engkau tunjuk lingkar bulan,
"Mari berjalan ke jendela
Kita lihat bagaimana butanya cakrawala"
Maka siapa yang sebenarnya tak pasti?
Kemudian tatapku pada matamu yang mendadak pasi

Ada yang mengikutiku pada kedalaman jejak
Berjalan mundur di rimbunan kata
Jua sela rumpang ingatan
Di petak masa kenang silam
Engkau yang menarikku pada ingatan di depan
Tak akan membuat aku berhenti
Berjalan dan mengais-ais ingatan
Betapa sakitnya mati
Jika itu cepat terjadi

Kelak ketika katakataku terhenti
Mungkin bukan karena ia menyingkir mati
Sebab tanpa aku
Katakata selalu diasuh waktu
akan mekar melulu
Takkan gaib seperti tubuh yang galib

Ketika gelisah menyergap
Hingga suara menutupi peka telinga
Kubiarkan resah mengabarkan sepenggal ketiadaanmu
Pada risik daun-daun
Yang biasa mengabarkan keadaanmu
Entah kapan,
Kita beradu senyum
Berhadapan dalam pusaran cahaya

Kembalilah pada senyuman
Bukan pada kebekuan
Pada risik yang terparaukan
Kembalilah pada kehangatan udara
Walau terkadang dirisaukan cuaca
Sebab hujan tak jua tumpah ke atas tanah
Kembalilah pada senyuman
Walau risau menggalaukan engkau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar