Anjing; Perwakilan Realitas Pada Zamannya
Oleh
Sri Maryani, S.Pd.
Joni Ariadinata disebut-sebut
telah mampu memberikan warna baru dalam kesusatraan di Indonesia. Penulis yang bertumbuh
dalam sastra koran melalui cerpen-cerpennya ini telah memberikan angin segar
dalam kreativitas menulis (khususnya dalam penulisan cerpen). Kekhasan muncul
sebagai wujud kreativitas sang pengarang. Membaca karyanya, pembaca akan
menemukan ‘keanehan’ yang membuat terlonjak karena pembaca berhasil menemukan
perbedaan dari karya-karya sejenis yang sudah ada. Di saat karya lain banyak memilih
kerumitan jalinan kata dengan pengembangan diksi dan deskripsi yang runtut,
Joni memilih untuk mendeskripsikan sesuatu dengan menggunakan satu kata atau
frase saja. Saat membaca karyanya pembaca tak merasa lelah
dalam mengatur nafas. Jalinan kata membuat ‘efek cepat’ pada pembaca yang
membaca karyanya. Tak berumit-rumit dengan diksi yang
runtut, namun tetap mengena. Efeknya ialah pembaca semakin liar dalam
mendeskripsikan/mencitrakan sesuatu yang terdapat dalam karyanya.
‘Anjing’ dalam Tragedi
Cerita
Salah satu karya
Joni yang akan dibahas di dalam tulisan ini ialah cerpen yang berjudul
“ANJING”. Di awal sampai akhir cerita kita akan disuguhi sebuah rangkaian
cerita yang penuh dengan tragedi. Diksi yang efektif mulai digunakan penulis
dari awal tulisan. “Pintu terbuka, ‘kubunuh kau!!” Lemparan batu....”. Pembaca
seolah digiring agar cepat membaca. Cerpen ini menceritakan tentang tragedi
anjing-anjing tuan Hilmi yang dibunuh. Tuan Hilmi adalah seorang kepala dusun
yang begitu disegani warganya. Orang-orang di desa sangat mengabdi kepadanya. Apa-apa yang dimiliki tuan Hilmi
dianggap agung. Terlebih-lebih oleh kopral Polisi yaitu ajudannya yang setia.
Kopra polisi takut kalau tuan Hilmi merasa kecewa dengan kinerjanya. Hal yang
ditakutkanpun akhirnya terjadi, salah satu anjing tuan Hilmi ada yang membunuh.
Kopral polisi dan semua warga cemas. Karena, apa yang dimiliki oleh tuan Hilmi ialah
sesuatu yang sangat berharga melebihi nyawa mereka sendiri. Sebuah ketetapan
pun timbul bahwa untuk mengganti seekor anjing yang mati harus berganti tiga
puluh nyawa manusia. Maka, diseleksilah 30 warga
sebagai pengganti anjing tuan Hilmi yang mati. Mereka bangga menjadi pahlawan.
Namun, kebahagianan karena ada pengganti bagi seekor anjing tuan Hilmi yang
mati tak bertahan lama, karena ada seorang warga yang mengabari bahwa anjing
yang kedua milik tuan Hilmi mati. Warga pun membuka pendaftaran tahap dua untuk
mengganti kematian anjing tuan Hilmi yang kedua. Tuan Hilmi merasa senang
karena dicintai rakyatnya. Terlebih mereka rela mengorbankan diri untuk
menggantikan kedua anjingnya yang mati. Namun, menurut tuan Hilmi, pengganti
tersebut tak diperlukan. Memandang itu, Kopral polisi takut merasa tidak
berguna. Kopral polisi takut kalau apa yang diucapkan oleh tuan Hilmi tidak
jujur dari hatinya karena bagaimanapun Kopral Polis sudah merasa mengenal tuan
Hilmi dengan segala kelicikannya. Kopral Polis pun menduga kalau itu akan
membuat ia semakin tersingkir dan tak berguna lagi bagi tuan Hilmi karena tak
mampu menemukan pembunuh anjing tuan Hilmi. Maka, ia pun berpikir pintas. Kopral
polis menyatakan bahwa yang membunuh anjing Tuan Hilmi ialah Sarmun anaknya Kopral
polis sendiri. Kopral polis menyatakan hal tersebut agar tuan Hilmi senang.
Namun, yang terjadi ialah tuan Hilmi malah murka. Ia marah karena yang
sebenarnya membunuh anjingnya adalah tuan Hilmi sendiri (untuk menguji
kesetiaan rakyatnya). Sedangkan Kopral polis malah sengaja mengorbankan anaknya
sebagai bentuk tameng pengabdian kepada tuan Hilmi. maka, Kopral polisi ialah
sejelas-jelsanya seorang penjilat. Dengan murka, tuan Hilmi memerintahkan
prajuritnya untuk membunuh Kopral Polis dihadapannya, karena ia dianggap
berbahaya; mengorbankan anaknya saja dia sangat berani, apalagi nanti mungkin tuan
hilmi akan dikorbankan juga.
Cerpen ini memang
berkisah tentang tragedi anjing. Di awal sampai akhir cerita. Awal cerita tragedi dibuka oleh anjing-anjing riil tuan Hilmi yang dibunuh. sedangkan
di akhir cerita, tuan Hilmi bercerita tentang ‘seorang anjing’ yang akan
dibunuh.
‘Anjing’ dalam Membidik
Realitas Sosial
Cerpen ini berhasil
membidik keadaan sosial yang terekam sekitar waktu-waktu cerpen ini dibuat. Kalau
dikaitkan dengan waktu kapan cerpen ini dibuat yaitu tahun 1997 maka kita akan
mengaitkan apa yang ada di dalam cerpen
dengan rezim yang belaku pada saat itu. Kalau pembaca hanya mengartikan isi
cerpen sebatas penangkapan isi dari seluruh kejadian bahwa ada seorang tuan
yang memiliki anjing, kemudian anjingnya dibunuh, lalu ada orang yang akan
dikorbankan sebagai wujud pengorbanan, kemudian diakhir seorang kopral mengaku
bahwa anaknya yang membunuh anjing sang tuan (agar mendapat simpati bahwa ia
tangan kanan yang mengabdi), kemudian sang tuan mengetahui bahwa sang tangan
kanan adalah seorang penjilat. Itu nampak terlihat biasa. lain halnya kalau
kita mengaitkannya dengan realitas sosial.
Tahun 1997 (tahun
yang tercetak sebagai titimangsa penulisan cerpen ini) ialah tahun yang pada
saat itu sedang ‘terseok-seoknya’ orde baru. Sebelum adanya perlawanan dari rakyat (secara
besar-besaran), orde baru berkuasa dengan kekuatan jenderalnya. Rakyat manut, mengabdi, dan takut kepada sang
pemimpin. Apa yang diungkapkan sang penguasa dianggap sebagai sesuatu yang benar.
Apabila ada yang menolaknya maka ia akan disebut sebagai pengacau atau
pengkhianat. Dan, hukuman yang akan didapat sudah pasti
yaitu penjara hingga penghilangan nyawa. Hal itu dapat kita lihat dalam salah
satu penggalan paragraf “...Tentunya tak
berdasar jika semisal ada pengkhianat yang bisa selamat. Amat mustahil tak bisa
terbongkar. Hanya satu hal yang mungkin: dulu ketika kang Tulip Si raja Kere
hidup. Tapi semua keturunan bajingan itu sudah mati. Dulu, hanya tinggal buyut
kang Tulip dibiarkan selamat karena saking peot dan tuanya: lumpuh, penyakitan,
nyaris sekarat. Para warga kasihan. Sampai
ketika tuan Hilmi merasa kurang berkenan, berkehendak menyempurnakan
garis-garis perintah Tuhan untuk melestarikan kebenaran, keadilan, dan
kemakmuran; maka kopral polisi termaktub, tanpa harus diperintah dua kali
bergegas menempelkan pelatuk bedil. Mendesis memejam mata, “moddarr!!”
Di ‘tragedi-tragedi
awal’ pembaca menangkap ada bau-bau pengabdian yang sengaja disodorkan rakyat
kepada penguasa melalui penggambaran ‘satu ekor anjing yang mati sama artinya
dengan tiga puluh warga’ berarti ada sebuah pemaknaan bahwa rakyat tidak lebih
berharga dari apa yang dimiliki oleh sang penguasa. Kemudian, di akhir cerita,
pembaca dikejutkan dengan realitas ‘seorang penjilat’ yang untuk sebuah
pengabdian kepada atasannya, ia rela menghalalkan segala cara bahkan
mengorbankan anaknya sendiri. Mungkin ini bisa mewakili realitas pada saat itu,
bahwa banyak ‘staf’ sang penguasa yang begitu manut, setia, selalu membenarkan
perkataan atasan. Namun, entah di hati mereka. Mereka selalu menarik simpati
sang penguasa. Dan, ingin menunjukkan bahwa mereka sebagai sebaik-baiknya
pendukung utama sang penguasa. Entah berlangsung lama atau tidak. Namun, saat
sejarah mengatakan lain yaitu saat rezim goyah, sat rakyat tertindas mulai
memberontak, saat suara-suara penjatuhan mulai bergaung makin keras, ada di
antara pendamping setia sang penguasa yang justru meninggalkan sang penguasa.
mungkin ia penjilat?
Salah satu bidikan penggambaran di dalam cerpen yang
mengenai realitas sosial pada zamannya yaitu tentang penunjuk realitas yang
mengarah pada penggambaran ‘sosok’ penguasa yang terlihat pada penggalan dalam
salah satu paragraf “...sebabnya tentu
saja, di dalam pemilihan, menjelang masa bakti tuan Hilmi kedelapan (baca: Tuan
Hilmi 79 tahun, masih sehat) ,jelas dinyatakan lewat deteksi formulir pendapat
“kompak-seragam-seirama”, yang berisikan kesepakatan tertulis bahwa: Ttuan
Hilmi, menurut kemestian, adalah Kepala Organisasi Kampung (KOP) yang baik dan
benar...”
Di dalam cerpen
‘anjing’ ini juga, Joni memberikan deskripsi tentang lingkungan sekitar (latar
tempat) yang merupakan bagian realitas kesemrawutan kondisi pada saat itu “...Rumah-rumah─sesak─, berhimpitan model
pasar inpres. Jalan gang beton, dua di kiri dan tiga di kanan,atap nyaris
saling bentrok. Hawa panas jika menguap siang; tak ada tempat buat halaman.
Sekat-sekat kost sarang mahasiswa 112 kotak persegi...”
Selain itu, ada juga
penggalan paragraf yang menandakan bahwa cerpen ini menyingkap realitas sosial
politik yang terjadi yaitu pada penggalan paragraf “...Inilah kehidupan─seperti yang mereka bilang─direstui Tuhan Sarwa
sekalian Alam, nyata. bersabda di dalam undang-undang ayat 20, pasal 2195,
halaman 302: “Kemiskinan sudah lama dikekalkan peraturan bahwa itu bukan dalih
untuk saling mempermasalahkan.” Jadi jelas: yang miskin silakan miskin, yang
kaya silakan kaya. Peraturan sudah termaktub dalam undang-undangnya bisa dibaca
umum, bebas, dalam segi penjabaran PP/21/003-PUTK/2021/NN, dikuatkan GBPN
(Garis Besar Peraturan Negara), atas nama Yang Mulia Gubernur, dikutip cq
Kepala Kampung dengan otonomi penuh, sebagai birokrat ditunjuk...”. Pencitraan
pembaca yang sudah ngeh bahwa cerpen
ini berkaitan dengan realitas sosial politik akan terdukung oleh kutipan di
atas yang seolah-olah merupakan peraturan yang dibuat untuk ditaati karena
bisanya yang sering membuat peraturan seperti itu ialah pemerintah. Di rentetan
kata selanjutnya penulis meletupkan realitas bahwa apapun yang dilakukan oleh
‘sang penguasa’ tidak boleh dipertentangkan “...tersurat dalam daripada kalimat berikut: ‘masyarakat dipersilakan hidup
sebagaimana kebiasaan watak masyarakat tanpa tedeng aling-aling. Dalam arti
gambling saling membiarkan.’ Artinya: jaminan hidup jujur dibiarkan sesuai
dengan konsep jujur yang diyakini. Tentu saja, ditekankan beserta kesadaran
(dalam arti keharusan, sepenuhnya) untuk tetap: “tidak mempertentangkan
kejujuran kehendak setiap petugas tertunjuk. termasuk (dalam hal ini tuan Hilmi
tertunjuk) bersama nasib para petugas paling setia (oleh sebab Tuan Hilmi
memelihara 6 ekor anjing,─satu meninggal, lima
ekor masih hidup).”.
Realitas lainnya
(masa orde baru) yang penulis tuangkan dalam cerpen ini ialah pada saat rezim
orde baru, saat berujar, orang-orang harus menggunakan ‘pilihan-pilihan kata’
yang telah ditentukan “...Semua kata baru dibakukan lewat konferensi
sepihak,─para ahli bahasa atas nama kemakmuran seluruh dunia...”. Ada juga penulis
menorehkan realitas tentang tindakan KKN di masa itu “...Maka tak perlu risau, kaget, apalagi jengkelit jika seorang tokoh agama
tiba-tiba bilang terkekeh-kekeh di tengah pasar: ‘Bayangkan, gue sanggup
korupsi delapan puluh milyar!’” atau dalam penggalan paragraf “Astaga! Sampeyan dapat sogokan dua
puluh juta?! Itu sudah termasuk prestasi local, saudara!! Bisa diusulkan untuk dapat penghargaan di tingkat provinsi...”
Jelas sudah pembaca
akan semakin tersadarkan pada realitas sosial politik yang disodorkan penulis
yaitu keadaan pada saat rezim orde baru. Joni begitu garang sekaligus nakal
dalam mengungkap realitas. Garangnya ialah saat ia dengan lugas meletupkan unek-uneknya tentang kondisi sosial yang
terjadi. Nakalnya ialah dalam penggarapan unek-uneknya menjadi sebuah cerita
yang begitu menggelitik. Pencapaiannya ialah saat pembaca mampu menangkap efek
kejut dari cerpen ini setelah ikut ritme tulisan yang seolah menuntut pembaca
berlari-lari saat membacanya.
‘Anjing’; Sebuah Kado Realitas dari Masa Lalu
Sebuah tulisan mempunyai ‘efek abadi’ seperti halnya batu bersurat
yang lazim kita sebut sebagai prasati. Karena ia mampu menyingkap cerita, memberikan
hikmah, kemudian bisa diwariskan sebagai sebuah cerita yang berpesan. Begitupun
cerpen ‘Anjing’ ini yang juga mampu meletup-letupkan ingatan, hingga
mengantarkan pembaca pada realitas masa lalu (masa orde baru) yang kemudian
dibentrokan kembali dengan realitas kekinian (zaman sang pembaca hidup). Mungkin saja ‘tragedi anjing’ dari masa lalu
kembali berulang kini.
Bagaimanapun
‘anjing’ merupakan sebuah ‘prasati’ dari masa lalu yang berusaha menggelitik
pembaca dengan realitas yang terjadi juga penggarapan penulisan yang begitu
segar oleh penulis. Sebuah cerita dari realitas masa lalu yang dihadiahkan
penulis kepada pembaca berikut dengan kreativitas dalam penyajian karya yang
menambah warna dalam proses kreatif penulisan cerpen. Ya, kado terindah dari
masa lalu. Agar pembaca menjadi seorang pembelajar yang cerdas membaca
realitas, menyingkap makna, dan cerdas menemukan bongkahan-bongkahan ide
kreatif dalam proses penciptaan karya khususnya cerpen.
Joni Ariadinata telah mampu menawarkan ide segar dalam mengungkap
realitas kemudian menuangkannya menjadi sebuah cerpen. Pembaca digiring untuk
menikmatinya. Dan, memang menikmati kekayaan baru dalam menulis cerpen. Jalanan
kreativitas begitu banjang, masih banyak ‘persinggahan ide’ yang belum
terjamah. Selamat berkelana menyingkap realitas dan menemukan ide segar
selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar