Sri Maryani, S.Pd. | ||||
Helvy Tiana Rosa (Sumber: Google.com) |
Sastra: Sang Mata Cemas dan Mata tenang
Ada sepasang peran sastra dalam membentuk apresiasi para pembacanya yaitu sastra sebagai pelempar kecemasan juga sebagai pelempar ketenangan bagi pembacanya. Kecemasan dan ketenangan ini ialah sebagai rarasa atau bentukan emosi awal yang merupakan bagian dari alur apresiasi karya.
Pada saat mengapresiasi suatu sastra tulis, pembaca berusaha mempertemukan realitas-imaji yang tersusun di dalam karya, imaji yang terbentuk di kepala pembaca, nurani pembaca, hingga realitas sosial di luar karya. Di dalam ruang-ruang pertemuan tersebut, akhirnya bentuk-bentuk ‘perselisihan apresiasi’ muncul yaitu antara pembaca dengan karya, pembaca dengan realitas sosial, juga antara pembaca, karya, dan realitas sosial. Di sinilah fitrah sebuah karya terlihat yaitu bahwa sastra itu multitafsir. Hingga pada akhirnya, bentuk apresiasi lebih terkhusus sebagai bentuk apresiasi personal yang didominasi oleh subjektivitas seorang pembaca dengan pemahaman atau nilai-nilai yang dianutnya. Sehingga, apresiasi terhadap karya, antara satu orang dengan lainnya sangat memungkinkan untuk berbeda, tergantung nilai yang dianut oleh masing-masing pembaca. Dari sanalah pembaca akan menemukan kenyataan bahwa suatu karya dapat diterima penuh antusiasme, ditolak mentah-mentah, atau malah hanya membentuk nilai rasa yang datar-datar saja bagi pembacanya.
Kecemasan dapat dimunculkan seorang penulis sebagai bagian dari alur emosi yang akan menggiring pembaca menikmati setiap lekuk keindahan sastra. Di sinilah apresiasi pembaca digodok. Beragam kecemasan terbangun, mulai dari kecemasan yang sifatnya membangun (solutif menjawab persoalan-persoalan yang dimunculkan di dalam karya), hingga kecemasan yang timbul hanya karena persoalan bentuk gaya tutur-tulis yang dimunculkan oleh penulis bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut pembaca (dianggap tabu).
Kecemasan yang tercipta mengarahkan pembaca untuk bergerak: mengkritik cara menyastrakan sastra, mengkritik nilai-nilai di dalam karya, atau mengiyakan karya terebut—sepaham dan mengikuti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Selain menebarkan kecemasan, sastra juga menebarkan ketenangan bagi pembacanya. Sastra yang menenangkan ialah sastra yang dianggap mampu menebarkan hikmah, sehingga pembaca mampu menangkapnya, lalu mampu melakukan perubahan-perubahan positif karena terinspirasi olehnya. Ketenangan didapat sebagai buah apresiasi bahwa sebuah karya yang baik ialah karya yang mampu membangun dan mengarahkan pembaca pada arah-arah perubahan yang lebih baik. Di sinilah sastra menjawab kecemasan dengan ketenangan yaitu ketika pembaca mampu menangkap saripati ide karya, lalu mengambilnya sebagai saripati nilai yang akan dipegangnya, hingga pembaca tercerahkan olehnya.
Perempuan dalam Sastra yang Mencemaskan
Banyak penulis yang menjadikan perempuan sebagai objek “eksploitasi ide” di dalam tulisannya. Di sanalah eksploitasi digelontorkan sebagai jawaban dari potret realitas perempuan. Ada yang mengeksploitasi setiap lekuk estetis perempuannya saja sebagai objek, ada juga yang mengangkat konflik-konfliknya, lalu menyelipkan hikmah tentang nilai-nilai perempuan yang lebih mendalam. Maka muncullah kajian sastra feminis sebagai salah satu bentuk kritik sastra menyoal karya-karya yang mengangkat perempuan atau yang ditulis oleh para penulis perempuan.
Kecemasan sastra tentang perempuan yang terbangun memiliki berbagai latar belakang musabab. Pertama ialah kecemasan yang terbangun akibat adanya penangkapan nilai tentang realitas perempuan yang sering dirasa termarginalkan, di sinilah muncul salah satu ragam karya yang berusaha mengangkat karya-karya yang bermuatan nilai “sama gender”. Di ragam lainnya—masih tentang issue gender—namun mengambil fokus nilai yang lain yaitu bukan tentang persamaan gender melainkan tentang nilai perempuan yang harus diletakkan dalam kodratnya. Perbedaan fokus pandang ini sangat mungkin terjadi karena setiap penulis perempuan memegang pemahaman dan nilai yang berbeda.
Kecemasan lainnya tentang ‘membahasakan perempuan’ dalam sastra ini ialah mengenai eksploitasi penulisan tentang perempuan (dalam hal ini gaya tutur-tulis). Sastra sebagai bentuk penyampaian nilai dengan cara yang indah, seringkali mengalami penentangan ketika seorang penulis menggunakan gaya tutur-tulis yang bertentangan dengan nilai yang dianut pembaca. Ada tulisan yang dianggap ‘tabu’ ketika ia menggambarkan perempuan dengan bahasa yang kotor. Padahal, apabila dikembalikan pada hakikatnya, susastera ialah tulisan yang indah, bahkan harus dapat mengindahkan akhlak pembacanya.
Suatu tulisan yang baik ialah seperti yang dikatakan Putu Wijaya dalam pesan pembuka di salah satu kumpulan cerpennya, bahwa sebuah tulisan ibaratkan sebuah sebuah teror mental bagi pembacanya. Teror mental ini yang akan membuat pembaca bangun. Konsep ‘kecemasan’ yang berulangkali disebut dalam tulisan ini sejalan dengan konsep terror mental yang dinyatakan oleh Putu wijaya. Melalui kecemasan ini, pembaca akan tergerak mengikuti nilai-nilai di dalam sebuah karya atau malah menentangnya.
Helvy: Mengangkat Sastra ‘yang Perempuan’
Banyak penulis perempuan yang mengangkat tulisan tentang perempuan atau menyelipkan ‘nilai rasa pribadinya’ sebagai seorang penulis perempuan ke dalam karyanya. Begitupun Helvy Tiana Rosa. Nilai rasa perempuan terasa sekali di dalam salah satu karya non fiksinya yaitu Lelaki Kabut dan Boneka yang merupakan kumpulan cerpen dwibahasa.
Salah satu cerpen yang ada di dalamnya yaitu Jaring-jaring Merah, oleh majalah sastra Horison dikukuhkan sebagai salah satu cerpen terbaik dalam dekade 1990-2000. Di dalam cerpen tersebut Helvy menyastrakan perempuan dengan begitu liris. Korban-korban teraniaya di dalam tragedi militer di daerah Aceh, diangkat dengan menggunakan ‘warna perempuan’. Ini terlihat saat Helvy memilih tokoh Aku sebagai seorang gadis yang mengalami tekanan (depresi) akibat kekejaman militer yang terjadi di tanah tersebut. Gaya tutur-tulis yang digunakan pun terlihat memakai ‘warna perempuan’ dalam mengungkapkan perasaannya.
Selain di dalam cerpen tersebut, di dalam beberapa cerpen lain terlihat juga warna perempuannya yaitu pada cerpen Darahitam melalui tokoh ia (perempuan), Juragan Haji melalui tokoh Mak Siti, Sebab Aku Angin Sebab Aku Cinta melalui tokoh Cinta, dan Pertemuan di Taman Hening melalui tokoh Sih.
Helvy menyelinap masuk ke dalam karya yang dituliskannya. Ia mengalir membawa pesan-pesannya ‘yang perempuan’. Sebuah karya memang tidak dapat lepas jauh dari latar belakang penulisnya, entah itu pengalaman penulis pribadi, lingkungan, hingga nalurinya secara alami sebagai seorang perempuan. Ketika seorang penulis perempuan menulis, maka ia pun akan membawa serta warnanya yang perempuan—meskipun tidak secara total—ke dalam karya yang dituliskannya entah itu mengenai pesan-pesan yang ingin disampaikannya di dalam karya atau melalui gaya tutur-tulisnya yang nyastra perempuan. Namun, sebentuk kekhawatiran muncul ketika penulis perempuan harus menulis tulisan yang sifatnya lebih umum? Maka, apakah ia akan tetap membawa gaya tutur-tulisnya yang nyastra perempuan?
Ketika penulis perempuan lain lebih banyak mengusung ide tentang kesetaraan gender, maka Helvy berani beda. di dalam setting karya. Ia menyuguhkan konflik-konflik perempuan yang begitu kodrati, ia berusaha mempertemukan setiap jalinan cerita dengan cara pandangnya, hingga menggiring pembaca untuk mengenali fitrahnya sebagai seorang hamba. Helvy berusaha mempertemukan kesadaran pembaca dengan karya, bahwa perempuan mempunyai kodratnya sendiri, pada akhirnya setiap konflik kehidupan yang muncul ialah merupakan rangkaian menuju fitrahnya sebagai hamba Tuhan. Mengenai pesan atau ide-ide penulis yang berbeda denga penulis lainnya, hal tersebut sangat mungkin terjadi, karena setiap penulis memiliki nilai dan cara pandang yang berbeda tentang issue gender—cara pandang mengenai kedudukan dan kodrat perempuan.
Helvy: Mengurai Kecemasan Menawarkan Ketenangan
Helvy tidak ngotot atau kasar dalam menyuarakan persoalan-persoalan perempuan. Ia tetap kalem. Perlahan ia menikamkan kegetiran ke dalam nurani pembaca melalui kisahan yang dibangun kemudian diimajikan lebih luas oleh pembaca.
Ketika membaca karyanya, pembaca tidak melihatnya sebagai seorang penulis perempuan yang frontal terhadap pengusungan nilai-nilai idealismenya tentang perempuan. Ia lembut, terkadang begitu liris, hingga perlahan pembaca tergerak nuraninya. Karya Helvy berusaha mempertemukan pembaca dengan nilai rasa perempuan yaitu tentang bagaimana perempuan memaknai realitas juga memaknai rasa. Bagi pembaca yang perempuan khususnya, Helvy berusaha mempertemukan pembaca yang perempuan dengan nuraninya.
Kecemasan terbangun ketika Helvy menyuguhkan konflik juga nilai di dalam karya realitas-imajinya. Ketika pembaca telah berhasil digiring dalam alur emosi yang mencemaskan, maka fokus pembaca akan dialihkan pada nilai-nilai yang membuat tenang yaitu ketika Helvy ‘menawar’ setiap kecemasan yang dialami pembaca karyanya dengan nilai-nilai atau cara pandang yang disuguhkannya.
Helvy: Perempuan dalam Sastra yang Berdzikir
Helvy tidak secara khusus menspesifikasikan bahwa tulisan-tulisannya ialah tulisan spesial tentang perempuan, walaupun warna perempuannya tetap terasa kuat. Kembali lagi, ini menyoal kaitan sastra dengan latar belakang penulisnya, entah itu nalurinya secara kodrati atau realitas yang menjadi titik fokus tulisannya.
Tidak hanya di kumpulan cerpen Lelaki kabut dan Boneka saja, warna perempuan Helvy juga terlihat di karya-karyanya yang lain seperti di dalam puisi “Perempuan Cahaya di Taman Dzikir”, naskah drama “Tanah Perempuan”, dan tulisan lain termasuk tulisan non fiksinya.
Helvy menawarkan sisi-sisi lembut di dalam bersastra, menebarkan ‘kecemasan’ melalui gayanya tersebut, hingga menawarkan ketenangan bagi pembacanya. Hal ini semakin meneguhkan bahwasannya untuk membahasakan perempuan tidak selalu harus menggunakan diksi-diksi yang keras/radikal.
Maka tak heran jika Helvy sebagai sebagai sosok sastrawati yang telah berhasil ‘membahasakan perempuan’, Helvy mendapatkan berbagai penghargaan berkaitan dengan idealisme sastranya itu, di antaranya yaitu SheCan! Award sebagai wanita inspiratif Indonesia tahun 2009, Ikon perempuan Indonesia versi majalah Gatra tahun 2007, Wanita Indonesia Inspiratif versi Tabloid Wanita Indonesia tahun 2008, Penghargaan Perempuan Indonesia Berprestasi dari Tabloid Nova dan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI tahun 2004, Ummi Award dari Majalah UMMI tahun 2004, dsb.
Membahasakan perempuan membutuhkan kuasa, bukan sekadar kata yang hanya disesuaikan dengan kemauan, melainkan harus diperbandingkan dengan nilai, karena bisa jadi kelak dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Maka, ketika bersastra merupakan sebuah jalan pilihan untuk membahasakan perempuan, ia menjadi jalan yang harus digarap secantik dan seberterima mungkin. Membahasakan perempuan tidak harus dengan keradikalan gaya—diksi-diksi yang soak—bertutur-tulis dengan lembutpun bisa jadi pilihan untuk menyelipkan nilai-nilai di hati pembaca, hingga pembaca mampu menangkap makna, dan sejalan dengan ide-ide kodrati, bahwa pada akhirnya, perempuan adalah hamba-Nya. Adapun kisah yang tercipta, justru di sanalah kita belajar memupuk asa dan menjadi sebaik manusia.
Dengan bersastra, Helvy telah berhasil membahasakan perempuan. Ia khas dengan gayanya tutur-tulisnya yang ‘nyastra perempuan’. Kalem tapi merasuk perlahan. Pembaca menangkap realitas-imaji karyanya, memahami nilai yang disuguhkan, hingga pembaca mampu tergiring untuk memahami nilai-nilai kodratinya sebagai seorang hamba. Maka Helvy telah berhasil menjadi perempuan dalam sastra yang berdzikir, sastra yang mampu mengingatkan nilai-nilai kodrati sebagai hamba, nilai penuh ingatan kepada Mahapencipta.
Salam Apresiasi!
Perempuan
-Puan dan Tulisan-
: untuk Helvy Tiana Rosa
Seorang puan bukanlah rayuan sekadar
Sesudah itu pudar
Adalah rahim-rahim ibu yang menjadi dinding tinulis
Berkabar akan kasih dan segala perih
Lalu kita tulis dalam diksi yang liris
Puan adalah penjaga
Dimana buana adalah kata
Dan kata adalah penghidup makna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar