Selasa, 10 Juli 2012

Puisi dalam Laci-laci Alusi



Oleh

Sri Maryani, S.Pd.

Aku dan Sastra yang Memanusiakan

Mencintai sastra berarti mencintai kemanusiaan. Mengungkap sastra berarti mengungkap kemanusiaan. Begitulah, paling tidak, yang dapat aku simpulkan dari apa yang aku pelajari sekarang tentang apa dan bagaimana itu sastra. Karena, dari beberapa tulisan yang kubaca pula, aku menemukan beberapa simpulan yang sama dengan apa yang kusebut dengan “kado manfaat” dari apa yang sedang kupelajari tersebut bahwasannya seseorang mempelajari bahasa ialah untuk melatih agar ia menjadi mahir berkomunikasi, sedangkan seseorang mempelajari sastra, ia sedang dilatih dengan bagaimana memanusiakan manusia. Ada realitas yang tersembunyi di belakang karya. Entah itu dari pengendapan pengalaman pribadi sang penulis, realitas lingkungan, atau pula realitas yang terjadi dalam imaji sang penulis atau kalau kuistilahkan sebagai “intuisi spontan” yang bagaimanapun proses-proses tersebut, tetap saja output yang dihasilkan harus membawa “nilai-nilai kemanusiaan” yang saat pembaca menikmatinya, tak hanya nilai estetis yang ia dapat, namun, hal terpenting lainnya ialah bagaimana ia dapat menyaring ‘realitas kemanusiaan’ dari apa yang ia baca. Karena, dengan itu, maka sastra bisa menjadi sebuah ‘pahlawan’ dalam proses memanusiakan manusia.

Tentang karya dan Realitas Kajian

Ian Champbell dari University of Sydney membuat sebuah tulisan yang merupakan kajian terhadap puisi-puisi karya Nenden Lilis A. Di halaman-halaman pembuka, ia menulis tentang konteks sosiologi. Kukira halaman-halaman ini merupakan ‘kunci pendekatan’ yang akan membuatku memahami apa yang Ian Campbell tulis. Mungkin, tulisan tersebut akan banyak mengangkat sisi sosial puisi-puisi karya Nenden Lilis A. Namun, ternyata kala tulisan tersebut aku teruskan untuk mengkhatamkannya, ada sebuah puzle-puzle gagasan yang membuatku berpikir ulang tentang pendekatan apa yang digunakan Ian. Apakah ia benar-benar menggunakan pendekatan sosial dalam kajiannya? Proses pencernaan tulisan yang kubaca pun berjalan terus. Aku sangat menikmatinya. ada banyak ‘kelezatan intelektual’—khususnya tentang sastra— yang dapat aku cerna saat membacanya. Sampailah aku pada kesimpulan lain saat tulisan mulai beranjak pada pembahasan puisi-puisi Nenden Lilis A. Ternyata apa yang kubaca di pembuka tulisan itu lebih mengarah pada sosio sang Pengarang atau latar belakang lingkungan sastra sang pengarang yang mana itu akan berpengaruh terhadap ciri dari puisi sang pengarang. berikut kalimat yang Ian kutip dari Rosidi yang akan menguatkan idenya untuk menulis latar belakang lingkungan sang pengarang “puisi-puisi dalam bahasa Indonesia dari jawa Barat dengan tema-tema local pada intinya sering dimulai dengan menggambarkan karakteristik alam dari suatu daerah”. selain itu pula Ian mengutip tulisan Joko Pinurbo yang akan menguatkan gagasannya—kenapa ia mengangkat lingkungan sastra penyair—di awal tulisannya. Pinurbo menulis tentang isu dan tantangan yang ia tujukan kepada penyair Jawa-Barat. “ ...Secara geografis, posisi Jawa Barat tentu saja strategis sekaligus penting. Berbatasan dan berhadapan langsung dengan gurita perkembangan yang muncul dari Jakarta. Tak diragukan bahwa ketegangan dan kekhawatiran yang timbul antara kekerasan perkembangan bernuansa global dan cita-cita romantik untuk melindungi suaka lokal, menjadi lahan kreatif yangmenarik dan menantang untuk para penyair Jawa Barat dan itulah yang banyak mengemuka dalam karya-karya mereka. Dari segi pergulatan kreatif, situasi seperti ini boleh dianggap sebagai keberuntungan sekaligus membahayakan untuk para penyair Jawa Barat. Situasi yang menawarkan baik kearifan pikiran dan perasaan. Itu membutuhkan kecerdasan estetis.”. Dari sanalah, kemudian Ian mengangkat Nenden Lilis A. sebagai salah seorang penyair wanita paling terkemuka dari Jawa Barat yang berhasil menerima tantangan yang diajukan Pinurbo tentang degradasi atau lokalitas lingkungan. Selanjutnya Ian mulai mengkaji puisi-puisi Nenden Lilis A, yang terlebih dahulu ia buka dengan biografi singkat Nenden Lilis A., karya-karya yang dihasilkannya, dan bangkitnya kepenyairan perempuan saat pemerintahan Soeharto runtuh. Tentang puisi Nenden Lilis A. pun, Ian berpendapat bahwa puisi-puisi Nenden pada awalnya tentang lingkungan orang Jawa Barat. Namun, satu dari Aspek-aspek yang melukiskan puisi-puisinya ialah bahwa lingkungan yang Nenden Tulis, dilapisi dengan suatu ekplorasi aspek-aspek kehidupan manusia melalui penggabungan elemen-elemen surealnya ke dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi nenden Lilis A. yang dikaji di dalam tulisan Ian, di antaranya ialah negeri sihir 1, Sungai Batu, Sumur, Penjemput Maut, Kerikil, Pengintai, Nightmare, Puisi Rumah, Rumah kenangan, dsb. Realitas di dalam Laci Alusi Dalam pengkajian puisi Nenden Lilis A. , Ian menggunakan pendekatan struktural semiotik. Yang mana, pada umumnya dalam tulisan ini, untuk menyingkap hikmah dari karya-karya Nenden, Ian memulai pembacaannya (analisis) dari kiasan atau simbol-simbol yang dimunculkan Nenden dalam puisinya. Misalnya pada puisi “Sunga Batu” Ian menulis, “Dalam puisinya, Nenden lilis A. Menciptakan suatu gambaran lingkungan di bawah ancaman umat manusia. Bahkan batu diinginkan dari palung sungai yang mengering. Penyair menggunakan teknik penyimbolan sungai yang ia gambarkan...”. Jelas sudah di sana bahwa menurutnya “Sungai Batu” merupakan puisi berhikmah tentang eksploitasi lingkungan. Hal itu, Ian buktikan oleh pembacaannya (analisis) terhadap simbol yang Nenden munculkan. Tentang eksploitasi ini mungkin memang multitafsir, karena Ian pun menduga-duga kembali tentang adanya kemungkinan bahwa eksploitasi dalam “sungai Batu” yang dimaksud ialah simbol, tubuh wanita yang diekploitasi laki-laki. Jadi, sisi feminis terangkat dalam tafsiran lain simbol ini. Selain “Sungai Batu”, Ian mengungkap Simbol-simbol lainnya dari puisi Nenden yaitu puisi Sumur. “Puisi lainnya tentang suara lunak Nenden dengan lingkungan adalah puisi “sumur”. Puisi ini juga mengenang simbolisme lingkungan melalui ide bahwa sang penyair menjadi satu dengan ligkungan melalui identifikasi tentangnya. tetapi juga dia bergerak terampil dengan kiasannya pada simbol sumur, yang meluap ketika hujan turun, antara personal dan simbol alam dan lingkungan. Dalam sajak pertama dia menggambarkan tanah, segar kembali ketika tersiram di bawah hujan, dengan pertumbuhan baru yang muncul, Dia menggunakan kiasan sumur untuk menggambarkan penjajarannya dengan proses ini....”. Di paragraf-paragraf berikutnya, Ian menjelaskan simbol-simbol atau kiasan lainnya yang muncul. Yang mana puisi tersebut (simpulannya) mengarah kembali tentang perempuan. Pendapat lainnya menurut Ian tentang simbol-simbol yang terdapat dalam puisi Nenden, “Jika itu tentang pengalaman perempuan, itu adalah suatu puisi riang gembira tentang perasaan jiwa yang bergejolak, seperti hujan yang turun. Kita bisa mengatakan bahwa Nenden tampak untuk hampir menggerakkan dengan lembut anatara kiasan untuk perasaannya sendiri sebagai seorang wanita dan refleksi perasaannya dalam simbol alam”. Selanjutnya yang Ian tulis tentang puisi Nenden yang berjudul “Kerikil”. “Dalam puisinya tahun1999, “Kerikil”, juga ada satu rasa kelanjutan yang kuat dengan puisi-puisinya terdahulu yang menggunakan rasa sentuhan simbolisme pedalaman untuk menguraikan secara terperinci perasaan dalam diri tentang seseorang yang tidak mampu untuk melepaskan kekusutan dirinya dari perasaannya atas seseorang (tak dikenal). Kemampuan Nenden untuk menggunakan bunyi dan perumpamaan lingkungan digunakan untuk efek yang bagus untuk mencerminkan kekacauan dari dalam diri.” Ian juga menuliskan kecenderungan simbol-simbol yang digunakan Nenden dalam puisi-puisinya. “Seperti yang disebutkan, perumpamaan pedalaman adalah satu tema dalam banyak puisi Nenden. Namun, dia lebih suka menggunakan bunyi dan rasa bamboo, bulan, kerikil, atau sumur sebagai kiasan untuk keadaan emosi yang sedang dia cari untuk disamapaikan lewat puisi-puisinya”. Ian masih terus memperkuat gagasannya tentang kiasan-kiasan yang terdapat dalam puisi karya Nenden Lilis A. yang sedang dikajinya. Kali ini, ia menggunakan kata-kata Sutardji sebagai penguatnya. “Ini adalah bagian misteri yang dia dapatkan dari puisinya. Namun, banyak kesuksesan puisi berasal dari penggunaan kata-kata perumpamaan onomatopoeia yang menyampaikan bunyi kikisan, kumuran dari kerikil dalam kerongkongan.” Kiasan memang merupakan salah satu nilai estetis dalam karya sastra. Aku berkesimpulan bahwa puisi memang realitas yang mempunyai laci-laci kiasan yang di dalamnya tersimpan makna. Begitlah keelokan sang seniman kata mengolah realitas. Ada beberapa bentuk kiasan lain yang Ian tangkap dari puisi-puisi Nenden. “ Kepahitan dari kehidupan dipaparkan melalui sinar bias prisma dari puisi-puisinya dalam warna, bunyi, dan gambar yang dia bangkitkan.” Contoh yang Ian ambil ialah istilah kata-kata warna, ada dalam “pengintai” referensi untuk kenangan kuning; dan dalam ‘sajak rumah’, ada gambar warna kebiru-biruan dan merah pupus. Dalam puisi Nightmare, Ian menangkap sebuah pertanyaan dari dirinya tentang alasan mengapa referensi untuk waktu berada dalam baris terakhir puisi? Setelah berhasil menangkap pertanyaan, ian pun mampu mengungkapnya “ tentu seperti yang telah kita lihat, simbol rumah adalah sesuatu yang sering digunakan Nenden Lilis A. untuk menggambarkan kehidupan. Menggunakan simbol tempat ini dalam bagian awal puisi, dia berpindah pada definisi kehidupan yang lebih filosofis seperti “waktu”. Waktu dilihat sebagai perizinan dia untuk kembali ‘pulang’ dan membebaskan dirinya dari pengalaman surreal dan rintangan yang menankutkan yang dia temuia di perjalanan hidupnya” Aku dan Pembacaan Terhadap Alusi dan Hikmah Pikiranku kembali mengarah pada estetis puisi sebagai sastra dengan keindahan kiasan yang dimilikinya. Puisi memang laci-laci realitas. Dan, bagi siapa saja yang berkenan membukanya dengan sungguh-sungguh, ia akan menemukan banyak kepingan hikmah di dalamnya. Tentang kiasan itu sendiri, aku banyak belajar dari tulisan Ian yang telah kukhatamkan ini, tentang bagaimana ia menangkap kiasan dalam setiap puisi. meskipun seluruh curah gagasannya tak mampu aku sampaikan semua dalam tulisanku kali ini. Rupa-rupa kiasan telah ia ungkapkan dari puisi-puisi Nenden Lilis A. dalam mengkiaskan. Dan, untuk kepiawaian dalam menciptakan kiasan, aku ucapkan rasa takjub pada penyair—Bu Nenden lilis A.— . Banyak kiasan bahkan warna pun kiasan. Banyak kiasan bahkan bunyi pun kiasan. Puisi memang laci-laci alusi (kiasan) dan di dalamnya ada berbagai realitas yang terkadang multitafsir. Demikian curah pendapatku tentang apa yang telah kubaca dari tulisan Ian. Menurutku, Ian mengungkapkan pendekatan struktural semiotik, yang mana ia banyak mengungkap/ memecah kata-kata atau struktur yang berkias. Puisi itu memang laci-laci alusi. namun, ada realitas di dalamnya yang harus segera dibuka. Mungkin tentang kemanusiaan. Dan, aku banyak belajar dari sana. Semoga selalu ada inspirasi.

Sri Maryani, Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan 2007. Guru SMPIT As Syifa Boarding School

Tidak ada komentar:

Posting Komentar